Sumber: http://www.antara.co.id/view/?i=1200990281&c=TEK&s=
Jakarta (ANTARA News) - Perbedaan sangat mendasar ditunjukkan tubuh laki-laki dan perempuan terhadap risiko terkena kanker hati, dan penyebabnya terletak di unsur genetik berdasarkan jender, demikian kesimpulan penelitian yang dilakukan para ahli di Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Amerika Serikat (AS).
Hal itu adalah kajian genome pertama yang menjelaskan kaitan antara gender dan kanker non-organ reproduksi, kata Arlin Rogers, patolog dan Ketua Tim Peneliti MIT.
Menurut penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah "Cancer Research" itu, laki-laki berpotensi terkena kanker hati dua kali lebih besar daripada perempuan di AS. Di negara lain, terutama Asia, angka potensi ini bisa lebih tinggi, yakni 8 hingga 10 kali lipat lebih besar.
Kanker hati adalah jenis kanker tersering nomor 5 di dunia, dan penyebab kematian urutan ke-3 terbesar. Angka kanker hati di AS lebih rendah daripada di negara-negara lain, tapi kecenderungannya menunjukkan peningkatan yang drastis akibat infeksi hepatitis C lewat transfusi darah yang terus melonjak sejak 1970-an, dan tentunya penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Faktor lain yang memicu angka kanker hati adalah masalah obesitas dan diabetes, yang terus menjadi perhatian pemerintah.
Rogers menjelaskan bahwa hati laki-laki dan perempuan punya perbedaan yang cukup kentara. Perbedaan itu sangat jelas terlihat semasa periode pubertas, yakni ketika organ hati laki-laki lebih terekspos pertumbuhan hormon. Hal ini kemudian menyebabkan organ hati laki-laki dan perempuan menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap antibiotik dan obat-obatan serupa.
Dalam penelitiannya, para ilmuwan MIT mengkaji tikus yang juga punya tren lebih tinggi mengalami kanker hati pada jenis kelamin laki dibandingkan dengan yang perempuan.
Tikus itu kemudian disuntikkan bakteri hepatitis - yang memproduksi gejala hepatitis yang sama dengan karakter hepatitis B dan C pada manusia.
Baik pada manusia dan tikus, laki-laki dan perempuan yang sehat bisa menunjukkan reaksi terhadap racun akut dan tekanan-tekanan lain. Tapi organ hati laki-laki ternyata tidak selengkap organ hati perempuan untuk menghadapi peradangan kronis yang muncul akibat infeksi zat-zat tertentu.
Ketika tikus jantan menghadapi hepatitis kronis, sebagian gen maskulin di hati ditingkatkan kerjanya, sebagian lain gen dihentikan aktifitasnya. Pada saat bersamaan, sebagian gen feminin diaktifkan ulang.
Akibat hal ini, para peneliti mencatat bahwa profil gen kemudian menjadi tidak jelas, istilahnya "kekacauan gender-hati" ."Tidak ada alasan atau pola. Cuma memang kacau saja antara gen maskulin dengan gen feminin," kata Rogers.Masih menurut hasil kajian para ahli, gen berdasarkan jenis kelamin ternyata menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap radang infeksi.
Gen laki-laki saat berhadapan dengan hepatitis kronis bereaksi sebagian kelebihan beban, sebagian lainnya kekurangan beban, sehingga organ hati tidak bisa mempertahankan fungsi metabolisme yang normal saat kanker muncul.
Sementara itu perempuan dewasa relatif lebih rendah potensi terkena kanker hati, karena gen di organ hati tidak merasa perlu berganti menjadi gen maskulin untuk menghadapi kanker, demikian Rogers.
WHO memperkirakan ada lebih dari 180 juta orang di dunia telah terinfeksi hepatitis C, dan lebih dari 400 juta orang lainnya hidup dengan hepatitis B. Bahkan beberapa pakar kesehatan mengatakan virus hepatitis 100 kali lebih mudah menular dibandingkan dengan HIV.
Yang paling ditakuti dari penyakit ini adalah potensi berkembangnya penyakit ini menjadi kanker hati atau sirosis yang dapat berakhir pada kegagalan fungsi hati dan mengakibatkan kematian.
Jika dirunut berdasarkan jumlah angka kematian pasien, maka sirosis menempati posisi ketujuh sebagai penyakit kronis yang mematikan. Oleh karena itu kewaspadaan akan penyakit ini menjadi hal penting, mengingat penularannya kadang tidak disadari oleh pasien.
Apalagi faktor penyebaran virus di Indonesia berkembang sangat cepat yang salah satunya dipengaruhi oleh ketidaktahuan masyarakat ada tidaknya virus hepatitis yang diidap dirinya. Padahal, 25 persen di antara pengidap yang tidak tahu ini berpotensi menderita sirosis setelah rentang waktu 15-20 tahun virus bersarang di tubuh mereka.
Menurut Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia Unggul Budihusodo, beberapa pola penyebaran virus hepatitis terjadi di antaranya melalui jarum tindik, alat narkotika, hubungan berisiko, tato, dan tranfusi darah.
"Pada tahun 2000 disebutkan penularan melalui suntikan putaw mengontribusi 80 persen perkembangan penularan hepatitis, bahkan polanya sangat cepat," ujar Unggul.
Laporan buletin mingguan WHO 2000 menyebutkan di dunia terdapat setidaknya 170 juta pasien terinfeksi virus hepatitis, dengan perkirakan 315.000 kasus baru muncul setiap tahun.
Sementara itu, di Indonesia tercatat tujuh juta penderita hepatitis ditemukan. Dari jumlah ini prosentase pengidap hepatitis kronik sebesar 16-77 persen, sirosis hati sebesar 22-78 persen, dan karsinoma hati (kanker hati primer) 29-69 persen.
Unggul menyebutkan bahwa sebanyak 1-4 persen jumlah total pasien sirosis akan berkembang terkena kanker hati setiap tahun. Sebagian kecil dari mereka mengalami perkembangan penyakit yang sangat cepat sehingga memerlukan tindakan transplantasi.
Selain berdampak pada kematian bagi penderita kanker hati, semakin banyaknya jumlah pasien penderita hepatitis akan memberikan dampak penurunan produktivitas kerja pasien, yang artinya akan berdampak pula pada kerugian secara ekonomi.
Penelitian para ahli hepatitis di Amerika Serikat menyebutkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat virus hepatitis mencapai 600 juta dolar AS setiap tahunnya. (*)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.