Sumber: http://www.solusisehat.net/artikel.php?id=1035
Kanker serviks memang hanya dialami wanita. Namun, kaum pria bisa membantu mencegah timbulnya penyakit ini.
Caranya, suami disarankan berkhitan alias sunat. Selain dianggap mampu mencegah kanker serviks, khitan juga dipercaya mampu meminimalkan penyebaran HIV. Fakta di lapangan menyebutkan, angka kematian akibat AIDS dan kanker serviks (leher rahim) sangat tinggi. Sebut saja HIV, virus penyebab AIDS yang menginfeksi 33 juta orang di seluruh dunia.
Demikian halnya HPV (human pappiloma virus) yang merupakan penyebab infeksi menular seksual paling umum di seluruh dunia. Virus tersebut telah menginfeksi sedikitnya 20 juta penduduk Amerika Serikat (AS). Virus inilah yang menjadi biang utama kanker serviks, penyakit yang mampu menewaskan 300.000 perempuan per tahun.
Upaya penanganannya telah berkembang, tidak lagi sekadar mengobati, melainkan juga pencegahan. Misalnya, vaksin HPV pencegah kanker serviks. Sayangnya, vaksin yang efektif mencegah AIDS masih belum ditemukan hingga detik ini.
Nah, bagi Anda kaum pria yang telah dikhitan (disunat), berbahagialah karena Anda dan pasangan berisiko lebih rendah terinfeksi kedua virus mematikan tersebut. Kabar baik itu datang dari laporan tiga studi yang dipublikasikan belum lama ini dalam Jurnal Penyakit Infeksi. Hasil studi memperkuat bukti bahwa khitan melindungi pria dari HPV dan HIV.
Sudah menjadi rahasia umum, kalau kanker serviks hanya dialami wanita. Namun, bisa saja wanita tersebut tertular HPV dari suami atau partner seksualnya. Dengan kata lain, dengan berkhitan berarti pria tak hanya melindungi dirinya sendiri, juga pasangannya.
Dr Bertran Auvert dari Universitas Versailles, Prancis, dan timnya di Afrika Selatan (Afsel) melakukan tes terhadap 1.200 pria yang memeriksakan diri ke klinik di Afsel. Mereka mendapati kasus infeksi HPV kurang dari 15 persen pada pria yang disunat, dan 22 persen pada pria yang belum disunat. "Temuan ini merupakan jawaban atas pertanyaan mengapa wanita yang bersuamikan pria yang telah disunat berisiko lebih rendah terkena kanker serviks," ujarnya.
Studi kedua yang melibatkan partisipan sejumlah pria di AS menunjukkan hasil kurang jelas. Namun, Carrie Nielson dari Oregon Health & Science University menemukan indikasi efek perlindungan sunat bagi pria. Setelah menganalisis perbedaan pada kelompok pria disunat dan tidak disunat, Carrie menyimpulkan, risiko pria yang disunat untuk terinfeksi HPV hanya separuh dari risiko pria yang tidak dikhitan.
Sementara itu, laporan ketiga merupakan hasil penelitian Lee Warner dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS. Dia dan timnya mengetes pria-pria keturunan Afrika-Amerika di Baltimore, AS. Didapati bahwa kasus infeksi HIV pada pria yang disunat hanya 10 persen dibandingkan 22 persen kasus pada pria yang tidak disunat."Sunat dapat mengurangi risiko terinfeksi HIV pada pria yang kerap terpapar HIV. Hal ini mendukung hasil studi lainnya terkait pengurangan risiko HIV pada pria heteroseksual yang disunat," katanya.
Dr Ronald Gray dan timnya dari Universitas Johns Hopkins di Baltimore berkomentar, sunat jarang dilakukan warga keturunan Afrika-Amerika dan Hispanic di Amerika. Padahal, mereka termasuk kelompok berisiko tinggi HIV. "Penelitian tentang faedah sunat tersebut mungkin akan berguna melindungi kaum minoritas itu dari HIV," ujarnya.
Laporan tiga studi tersebut memancing perdebatan bahwa pria (termasuk bayi laki-laki baru lahir) seharusnya disunat untuk melindungi kesehatan mereka, sekaligus partner seksualnya kelak. American Academy of Pediatrics (AAP) juga belum merekomendasikan sunat bagi bayi laki-laki baru lahir.
Di Indonesia, sunat atau khitan umumnya dilakukan pria muslim, kendati ada sebagian umat Kristiani yang juga melakukannya. Rata-rata anak laki-laki disunat pada usia 9-10 tahun (kelas 3-5 SD). Sunat dilakukan dengan memotong kulit yang menutupi ujung alat vital sehingga terbuka.
"Anatomi alat kelamin pria diibaratkan topi, saat buang air kecil sisa-sisa urine tertampung di situ. Melalui sunat, jadinya bersih dan tidak ada virus," ujar staf Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM Jakarta, dr Andon Hestiantoro SpOG (K).
Sumber: Okezone